Monday, 29 November 2010

Apa Yang Akan Terjadi JIka TNI diberikan Hak Pilih Dalam Pemilu

Sikap dan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang meminta polemik tentang hak memilih prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dihentikan, menyusul pendapat pro dan kontra yang muncul, memicu pertanyaan dari banyak kalangan. Permintaan tersebut dinilai aneh karena perdebatan dan pembahasan yang muncul saat ini terkait hak memilih prajurit TNI diyakini sudah mengarah ke perkembangan positif dengan mencoba mencari solusi atas persoalan yang terus berulang mengemuka dan dipermasalahkan di masyarakat. 

Sementara yang menolak atau menentang karena adanya kekhawatiran dengan  diperbolehkannya TNI ikut mencoblos akan menguntungkan partai pemerintah, dan sebaliknya merugikan partai yang sampai saat ini memilih di luar pemerintahan. Benarkah? Jawabnya, bisa benar, bisa juga tidak. Karena berdasarkan pengamatan kita, militer sekarang memiliki pandangan yang agak berbeda dengan militer dahulu. Jika sebelumnya militer cenderung kepada Partai Golkar. Artinya, kalau mereka diberi kesempatan mencoblos (dulu atau sebelum reformasi) kemungkinan akan mencoblos Partai Beringin. 

Sekarang pandangan atau paradigma  militer kita sudah mengalami banyak pergeseran. Jika dulu jenderal pensiunan pasti bergabung ke Partai Beringin, sekarang mereka menyebar dan bergabung dengan partai mana saja. Tidak hanya partai-partai tengah (nasionalis) saja yang dituju. Namun, partai yang berhaluan agama pun mereka pilih. Lihat saja, banyak pengurus PPP yang berlatar belakang jenderal, termasuk partai lainnya. Dan dengan terbukanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bukan mustahil partai ini pun bakal menjadi tujuan para jenderal dalam berpolitik



Masalah faktual 


Aktivis prodemokrasi menunjuk (sebagai basis argumentasinya) Undang-Undang TNI yang secara eksplisit memagari kemungkinan kembalinya TNI ke panggung politik, termasuk dengan melarang anggota TNI aktif merangkap jabatan/posisi sipil. Kalaupun dipercayakan untuk menempati pos sipil, personel yang bersangkutan harus menanggalkan status keanggotaan di TNI (Pasal 47 Ayat 1). Terlepas dari pro-kontra ini hendaknya kita tetap berpegang pada UU TNI Pasal 39 Ayat (4) yang menegaskan, setiap prajurit (anggota TNI aktif) dilarang untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu dan jabatan politis lainnya.

Masalah yang lebih mendasar dalam kerangka kehidupan bersama ialah kondisi masyarakat yang mudah jatuh dalam fragmentasi karena pluralitas yang sangat luas dalam berbagai dimensi, suburnya kembali fenomena primordialisme, terbukanya "kotak Pandora" akibat eforia reformasi yang menguak jendela kebebasan selebar-lebarnya (sampai bablas), lemahnya disiplin manusia Indonesia, dan kultur kekerasan yang masih menggelinjang sebagaimana terpantul dalam konflik-konflik di beberapa wilayah dan kelompok masyarakat.

Berbagai masalah tersebut- banyak lagi yang dapat diinventarisasi-di satu sisi sepertinya ikut menyemai benih kerinduan (sebagian) masyarakat terhadap kondisi kehidupan yang lebih aman dan stabil (kira-kira serupa era Orba dulu), yang secara sederhana dan "gampang" dikaitkan dengan peran TNI. Hal ini mungkin merupakan salah satu pemicu naiknya kembali gradasi kepercayaan masyarakat terhadap TNI. Kekecewaan publik kian diperparah oleh ulah (sebagian) elite politik yang lebih mengedepankan kepentingan diri, fragmentasi yang begitu telanjang dipertontonkan partai- partai politik, penyakit "korupsi berjemaah" yang malah melibatkan tokoh-tokoh yang sebelumnya mengusung kredibilitas dan integritas tinggi, sampai perilaku emosional (tidak rasional) yang dipanggungkan di DPR.

Di sisi lain, situasi/kondisi masyarakat, birokrat, dan elite politik seperti digambarkan di atas sangat potensial untuk menjerumuskan seorang kepala daerah ke dalam jurang kegagalan, apa pun latar belakangnya-sipil maupun militer. Kondisi ini harus menjadi fokus perhatian pimpinan TNI karena kegagalan anggota TNI dalam mengemban tugas sebagai kepala daerah, kendati dia sudah pensiun, tetap akan dipersepsikan publik sebagai kegagalan TNI. Karenanya, pimpinan TNI harus meyakini, anggotanya yang ikut serta dalam pilkada benar-benar dikehendaki rakyat serta harus merupakan prajurit pilihan, punya integritas pribadi dan berkompetensi menjadi kepala daerah sehingga dapat terhindar dari-setidaknya menipiskan-kemungkinan kegagalan. 

Kekhawatiran dan solusi 

Pertama, kekhawatiran akan terjadi penyimpangan dalam periode kepemimpinan anggota TNI (meski sudah pensiun dini)-yang bisa melukai citra TNI dan merugikan rakyat dapat ditepis dengan memfungsikan secara optimal segala instrumen, proses, dan mekanisme kontrol formal maupun informal. Mabes TNI pun harus mengantisipasi kemungkinan kegagalan calon tersebut dalam periode kepemimpinannya (apabila terpilih), dengan lebih dahulu memverifikasi "kemurnian" pencalonan anggotanya sebelum yang bersangkutan maju dalam pilkada. Sejauh mana ia sungguh dikehendaki masyarakat dan seberapa kuat dukungan kepadanya; jadi tidak mencalonkan diri berdasarkan motif pribadi semata.

Dengan demikian, perlu diteliti motivasi, kapabilitas, integritas, reputasi, dan prestasi di lapangan yang memungkinkan pantas tidaknya calon tersebut diizinkan ikut dalam pencalonan. Kalau dinilai tidak pantas, Mabes TNI berhak dan harus menolak pencalonannya. Jadi tidak dapat diserahkan begitu saja kepada mekanisme internal parpol. Selain itu, Mabes TNI harus meyakinkan publik bahwa pihaknya (sampai aparatnya di daerah) tidak akan melalukan intervensi atau bentuk dukungan apa pun sebelum dan selama pilkada berlangsung, meski ada anggota TNI yang jadi calon.

Kedua, kekhawatiran kembalinya TNI ke panggung politik atau berkembangnya militerisme sebenarnya kurang berdasar. TNI sudah teguh bersikap untuk meningkatkan profesionalisme dan karena itu harus keluar sepenuhnya dari kolam politik, sementara UU TNI dengan tegas memagari bahaya militerisme atau kembalinya TNI ke politik praktis. Kekhawatiran tersebut juga bisa dipupus dengan kontrol ketat oleh publik maupun Mabes TNI sendiri terhadap anggota TNI yang ikut serta dalam pilkada. Apalagi di era reformasi dan demokratisasi yang serba transparan ini segala instrumen dan proses kontrol dapat diberlakukan secara ketat.

Namun, nilai budaya militer seperti disiplin, loyalitas, etos kerja, komitmen, dan semangat pantang menyerah justru dibutuhkan dan perlu diaplikasikan dalam menggulirkan roda pemerintahan daerah dan mengelola pembangunan masyarakat. Nilai-nilai kultur militer itu (tidak sama dengan militerisme!) pada hakikatnya bersifat universal yang umum berlaku di negara-negara maju.

Fenomena yang justru harus dikikis adalah "militerisme di kalangan sipil". Contohnya dapat mudah ditemukan di berbagai lapisan masyarakat. Misalnya satgas parpol yang "lebih militer daripada tentara". Tidak sedikit pejabat sipil (pemerintahan atau swasta) berperilaku militeristik dengan menerapkan "budaya komando" dan bersikap otoriter. Kepemimpinan yang kuat (strong leadership) memang perlu dibangun, namun tidak identik dengan otoriter dan bergaya komando.

Keikutsertaan prajurit TNI dalam pemilu masih harus dibahas bersama di antara para panglima dan kepala staf angkatan di dalam tubuh TNI. Selain itu, perlu dilakukan penelitian, baik secara internal maupun eksternal.

Bila TNI ikut memilih dalam pemilu dan pilkada, maka harus ada jaminan yang menggaransi pemilu akan tertib dan aman. 

Ada tiga prasyarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan hak pilih TNI.
  1. Harus ada jaminan pemilu yang akan datang pasti tertib dan aman. Artinya, anggota TNI ikut dalam suasana seperti itu.
  2. Harus ada jaminan bahwa pelaksanaan hak pilih itu tidak mengganggu Le Spirit De Corps satuan dan untuk itu perlu dibuat aturan yang ketat dilingkungan TNI sendiri 
  3. Harus ada komitmen yang kuat dari TNI itu sendiri 
Pemberian hak untuk memilih kepada TNI tidak perlu dikhawatirkan jika dipagari dengan aturan-aturan operasional yang ketat.  
  1. Pemilu harus dilaksanakan pada hari libur. Anggota TNI harus memilih di TPS di luar barak atau kompleks militer. Kecuali mereka yang sedang diterjunkan dalam tugas operasi militer, penggunaan hak pilih dilakukan di daerah tempat tinggal. Ini untuk menghindari munculnya polarisasi orientasi atau blok politik antarkesatuan.
  2. Pada radius tertentu dari markas atau barak militer tidak diperbolehkan ada kegiatan politik, baik berupa penempelan gambar parpol maupun kegiatan-kegiatan politik. 
  3. Harus ada aturan ketat yang melarang semua anggota TNI untuk terlibat dalam penahapan penyelenggaraan pemilu.
  4. Partai politik dilarang melakukan kunjungan ke barak militer dan pemimpin-pemimpin TNI yang biasanya dibungkus dengan istilah kunjungan silaturahmi.
  5. Semua kegiatan politik selama penahapan proses penyelenggaraan pemilu tidak boleh dihadiri oleh anggota atau kesatuan TNI. Masih banyak hal lain yang harus diatur secara rinci.

Blog Archive